Legenda Rawa Pening
Dahulu kala juga ada sebuah desa bernama Ngasem di lembah antara Gunung Merbabu atau Telomoyo. Di desa tersebut tinggal sepasang suami istri bernama Ki Hajar atau Nyai Selakanta, yang sering dikenal murah hati dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum punya anak. Meski demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun dan tenang. Setiap kali mereka menghadapi masalah, pikiran akan menyelesaikannya.
Suatu hari Nyai Selakanta sedang duduk sendirian di depan rumahnya. Tidak lama kemudian, Ki Hajar mendatanginya dan duduk di sebelahnya.
“Wahai istriku, mengapa kamu terlihat sangat sedih?” tanya Ki Hajar. Nyai Selakanta masih terdiam, sendirian. Dia tampaknya masih tersesat dalam lamunan masa lalunya sehingga dia tidak akan memperhatikan suaminya di sebelahnya. Dia tidak menyadarinya sampai Ki Hajar meraih bahunya.
“Eh, Kanda,” katanya kaget.
“Istriku, bagaimana menurutmu?” Ki Hajar bertanya lagi.
“Jangan pikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi saat Kanda jalan-jalan. Tentunya kalau di rumah ini selalu ada bayi menangis atau meratap, maka hidup tidak lagi sepi saat ini, “kata Nyai Selakanta,” jujur saja Kanda, Dinda sangat ingin punya anak. Dinda ingin merawatnya atau membesarkannya dengan penuh kasih sayang. “Saat Ki Hajar mendengar ungkapan di hati istrinya, dia menarik napas dalam-dalam.
“Sudahlah, Dinda. Mungkin ini belum saatnya Tuhan memberikan kita anak. Yang terpenting kita harus terus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” kata Ki Hajar.
“Ya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil terus menitikkan air mata.
Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya saat melihat kesedihan sang istri yang sangat ia cintai itu menangis.
“Baiklah, Dinda. Kalau Dinda benar-benar ingin punya anak, suruh Kanda bertapa untuk memohon kepada Yang Maha Kuasa,” ucap Ki Hajar.
Nyai Selakanta mampu mengabulkan keinginan suaminya, meski sulit berpisah. Keesokan harinya, Ki Hajar berangkat ke lereng Gunung Telomoyo. Nyai Selakanta sekarang hidup sendiri dengan kesepiannya.
Nyai Selakanta telah menunggunya berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, namun suaminya belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu mulai dipenuhi dengan perasaan takut bahwa sesuatu akan terjadi pada suaminya.
Suatu hari Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah.
Dia mungkin juga mengira dia hamil. Ternyata tebakannya benar. Perutnya semakin besar dan besar. Setelah itu, dia akhirnya melahirkan. Yang mengejutkan, bagaimanapun, anak yang lahir bukanlah manusia, tapi bayi naga. Dia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini bisa diambil dari nama tombak suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata “BH” yang berarti “keturunan brahmana”, yaitu orang bijak yang kedudukannya lebih tinggi dari seorang pendeta. Sedangkan kata “Klinthing” berarti lonceng.
Ajaibnya, meski berbentuk naga, Baru Klinthing juga bisa berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta juga takjub melihat betapa emosionalnya melihat keajaiban ini. Di sisi lain, dia juga sedikit kecewa. Jadi betapa malunya dia jika penduduk mengetahui bahwa dia telah melahirkan bayi naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat menghalau Baru Klinthing ke Bukit Tugur. tapi sebelumnya dia harus merawatnya dulu, biar besar, supaya bisa berkendara ke lereng gunung Telomoyo yang jaraknya lumayan jauh. Tentu, Nyai Selakanta diam-diam mengurus Baru Klinthing tanpa sepengetahuan warga sekitar.
Waktu terus berjalan. Baru saat itulah Klinthing menjadi remaja.
Suatu hari anak laki-laki itu bertanya kepada ibunya.
“Bu, apakah saya punya ayah?” dia bertanya dengan polos.
Nyai Selakanta tersentak kaget. Dia benar-benar tidak pernah menyangka pertanyaan ini keluar dari mulut putranya. Namun, hal itu membuatnya sadar bahwa sudah waktunya Baru Klinthing mencari tahu siapa ayahnya.
“Ya anakku. Nama ayahmu adalah Ki Hajar. Tapi ayahmu sedang bersemedi di lereng Gunung Telomoyo. Kalau begitu pergilah padanya dan katakan padanya bahwa kamu adalah putranya,” kata Nyai Selakanta. “Tapi, Madam. Siap mempercayakan tubuhku seperti itu?” Tanya Baru Klinthing dengan sangat ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawa pusaka Tombak Klinthing baru ini sebagai barang bukti, “kata Nyai Selakanta.” Pusaka milik ayahmu. ”
Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing pergi ke lereng Gunung Telomoyo. Setelah sampai di sana, dia masuk ke dalam gua dan menemukan seorang pria yang sedang bermeditasi. Ked
LIHAT JUGA :
https://teknologia.co.id/
https://butikjersey.co.id/
https://kabarna.id/
https://manjakani.co.id/
https://sewamobilbali.co.id/
https://deevalemon.co.id/
https://cipaganti.co.id/
https://pulauseribumurah.com/
https://pss-sleman.co.id/
https://mitranet.co.id/